Selasa, 07 Juni 2016

Kisah Lucu Orang Samin, Terlalu Jujur

Kejujuran dan keluguan warga samin seringkali disalahpahami masyarakat umum. Mereka kemudian dianggap bodoh, tolol, atau bahkan sinting. Meski sesungguhnya sikap dan ucapan tersebut karena sangat jujur cenderung naif.

Berikut ini ada beberapa cerita berbasis kisah nyata yang beredar di masyarakat sekitar Blora, Jawa Tengah, yang mengeksplorasi keluguan dan kejujuran warga samin.

(1) Orang Samin pada masa lalu selalu bepergian dengan jalan kaki. Sejauh apa pun mereka akan jalan kaki. Pada suatu saat ada orang Samin dari Blora yang ingin pergi ke Rembang.

Tentu saja itu adalah jarak yang jauh sekali jika ditempuh dengan jalan kaki. Ketika sampai di jalan raya seorang kondektur bus jurusan Rembang menawari orang itu.

"Pak…Rembang nggih? (Pak ke rembang ya)," tanya kondektur.
"Nggih (ya)."

"Lha monggo nitih bis. (Silakan naik bis)."
"Oh…nggih… (Oh iya)"

Dia pun naik bus itu. Tidak lama sang kondektur mendatangi orang Samin itu untuk menarik ongkos.
"Ongkosipun Pak? (Ongkosnya, Pak)."
"Ongkos menapa? (Ongkos apa?)"
"Ya ongkos nitih bis Pak. (Ya bayar untuk naik bus, Pak)"
Karena suara kondektur keras, semua mata penumpang tertuju pada mereka berdua.

"Njenengan ingkang nawani kulo nitih bis (Kan, tadi Anda yang menawari saya naik bis)."
"Tapi nggih tetep mbayar Pak (Tapi ya tetap membayar). "
"Kulo mboten gadah arto (Saya tidak punya uang)."

"Lek ngoten mandap mriki mawon (Kalau begitu, turun sini saja)."
"Nggih mboten nopo-nopo (Ya tidak apa-apa)."

Sang kondektur memberi aba-aba sopir untuk berhenti. Orang Samin itu siap-siap turun, tiba-tiba  ada seorang penumpang yang hendak membayari orang Samin itu. Meski demikian, si Samin menolak.

"Sekeca mlampah mawon, mboten wonten ingkang ngajak tukaran (lebih nyaman jalan kaki saja, tidak ada yang ngajak berantem)," kata si Samin sambil melangkahkan kaki turun dari bus.


Salah satu bentuk perlawanan kaum Samin dengan Belanda adalah dengan mogok membayar pajak. Syahdan, saat itu ada petugas pajak kebangsaan Belanda yang menagih pembayaran pajak. Namun orang-orang Samin dengan sangat cerdas melawan tanpa kekerasan.

Penagih pajak itu setelah berbicara apa keperluannya, yakni menagih pembayaran pajak, tiba-tiba orang Samin itu malah masuk rumah membawa sekantung uang dan sebuah cangkul.

Merasa terancam, petugas pajak Belanda menyiapkan senjata dan siap menembak. Namun betapa kagetnya setelah melihat si Samin menggali sebuah lubang dan menanam uangnya di depan petugas Belanda itu.

"Bumi sing gawe Gusti Allah. Aku nandur neng bumi. Njupuk asile seko lemah. Dadi aku ra perlu mbayar pajek neng pemerintah, nanging aku mbayar pajek neng lemah. (Bumi itu buatan Allah. Saya menanam di bumi, mengambil hasil bumi dari tanah, jadi tidak perlu membayar pajak ke pemerintah tetapi membayar pajak ke tanah," kata si Samin.

Warga Samin sangat cinta lingkungan. Mereka hanya mau menebang pohon pada pohon yang ditanamnya. Suatu ketika, Belanda menangkap salah seorang Samin dan memenjarakannya karena kedapatan menebang pohon jati untuk membuat rumah.

Salah seorang Samin lalu datang ke Jakarta dan menghadap Presiden Soekarno, meminta pembenaran, karena yang menanam jati adalah mereka maka mereka berhak untuk menebang guna membangun rumah.

Presiden Soekarno waktu itu mengiyakan dan sang Samin pulang sambil membawa foto Bung Karno, meminta temannya dibebaskan dari penjara.
Ajaran Samin sejatinya adalah kejujuran, tidak mencuri, tidak menebar permusuhan dengan semua makhluk hidup. Tak terkecuali burung-burung.

Suatu ketika ada anak seorang Samin disuruh menjaga padi di sawah oleh seorang lain yang bukan dari komunitas Samin. Ketika orang itu  datang dan melihat padinya diserbu ratusan burung pipit dan anak yang disuruh menjaga hanya diam, maka dia marah besar.

"Aku ki mung dikongkon jaga sawah, ora dikongkon ngusir manuk. (Saya hanya disuruh menjaga sawah bukan mengusir burung)," kata si anak Samin.
Karena sangat akrab dengan alam, orang-orang Samin di masa lalu tak pernah mau memetik buah apa pun sebelum jatuh. Termasuk buah kelapa, meski sejatinya buah kelapa itu sudah layak dipetik.

Selain itu, mereka tak pernah menaruh prasangka kepada orang lain, sehingga selalu siap membantu. Bahkan kepada orang yang tak dikenalnya, ia akan membantu. Kecuali satu hal, merusak alam.

Suatu hari ada pedagang kelapa datang ke perkampungan Samin. Ia hendak membeli kelapa, namun tidak ada. Maka, ia menyuruh seorang anak Samin untuk memetiknya agar bisa dibeli.

"Kowe menek klapa ya. (kamu manjat kelapa ya)," kata si pedagang.
"Ora iso (nggak bisa)," jawab si anak samin.
"Lah apa (mengapa)?" tanya si pedagang.
"Klapa kok dipenek. Sing iso dipenek kuwi wit klapa (kelapa kok dipanjat. Yang bisa dipanjat itu pohon kelapa)," jawab si anak samin.

"Oh ngapurane ya. Ya wis tulung menek wit klapa (oh maaf ya. Ya udah sekarang tolong manjat pohon kelapa ya)," kata si pedagang.

Maka si anak Samin itu bergegas menuju ke sebatang pohon kelapa. Dengan cekatan ia memanjat ke atas. Melihat hal itu, si pedagang tersenyum.

"Sak jam maneh aku mrene. Tak muter dhisik (Sejam lagi saya ke sini lagi. Saya mau keliling dulu)," kata si pedagang.

Satu jam kemudian, si pedagang kembali ke tempat semula. Ia heran tak ada kelapa yang sudah dipetik. Si anak Samin juga tak kelihatan. Ternyata ia sedang asyik tiduran di pelepah daun kelapa yang cukup besar.

"Lah apa kowe neng kana? Kok ora ngopek klapa, ora mudhun? Kebangeten nemen goblogmu (Mengapa kamu masih di situ tanpa memetik kelapa. Juga tidak turun? Kebangetan sekali ketololanmu)" teriak si pedagang.

"Aku mau kon menek wit klapa. Ora kon ngopek klapane. Aku kon menek njur mbok tinggal, ora dikongkon mudhun. Sing kebangeten ki sopo? (Saya tadi disuruh manjat pohon kelapa. Nggak disuruh memetik kelapanya. Juga nggak disuruh turun. Kalau seperti itu, yang kebangetan siapa?)" si anak menjawab.

Cerita-cerita berbasis pengalaman orang-orang berinteraksi dengan itu hingga kini masih beredar dan hidup di masyarakat sebagai folklorewong Samin. Cerita-cerita itu menunjukkan adanya konsistensi antara ucapan dan tindakan warga Samin.

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN STRIKTURA URETRA




TUGAS PORTOFOLIO
ASUHAN KEPERAWATAN  GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN
STRIKTURA URETRA


KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmannirahiim
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayahnya kepada kita semua sehingga saya dapat menyelesaikan seminar ini dengan lancar. Sholawat serta salam marilah kita haturkan kepada beliau  Nabi Agung Muhammad SAW yang akan kita nanti-nantikan syafa'atnya kelak di yaumul qiyamah amin.portofolio ini berisi tentang “(penyakit STRIKTURA URETRA )”. mata kuliah PERKEMIHAN. saya menyadari bahwa portofolio ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan.
Untuk itu, kritik, saran dan tegur sapa dari pembaca budiman sangat kami harapkan demi perbaikan selanjutnya.Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua amin.




Semarang,   Maret 2015


                                                                                                                        Penulis


A.   PENGERTIAN

Striktura uretra adalah penyempitan lumen uretra karena fibrosis pada dindingnya. Penyempitan lumen ini disebabkan karena dindingnnya mengalami fibrosis dan pada tingkat yang lebih parah terjadi fibrosis korpus spongiosum. (Purnomo P Basuki, 2011)
striktura adalh suatu kondisi penyempitan uretra. sriktura uretra menyebab gangguan dalam berkemihyang mengecil sampai sama sekali tidak dapatmengalirkan urine keluar dari tubuh. Urine yang tidak dapat keluar sampaidari tubuh dapat menyebabkan banyak komplikasi. Komplikasi terberat yaitu gagal ginjal. Striktura uretra masaih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian dunia tertentu. Striktura uretra lebih sering trjadi pada pria dari pada wanita karena uretra pada wnita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan striktura. Seseorang dapat terlahir dengan striktura uretra, meskipun hal terasebut jarang terjadi  (muttaqin arif & sari kumala , 2011).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan perut dan kontraksi  (Susanne, C Smelzer, 2002).

B.   ETIOLOGI

Striktura uretra dapat disebabkan karena suatu infeksi, trauma pada uretra, dan kelainan bawaan. Infeksi yang paling sering menimbulkan striktura uretra adalah infeksi oleh kuman gonokokus yang telah menginfeksi uretra beberapa tahun sebelumnnya. Keadaan ini sekarang jarang dijumpai karena banyak pemakaian antibiotika untuk memberantas urethritis.
Trauma yang menyebabkan striktura uretra adalah trauma tumpul pada selangkangan (straddle injury), fraktur tulang pelfis, dan instrumentasi atau tindakan transuretra uretra yang kurang hati-hati. Tindakan yang kurang hati-hati pada pemasangan kateter dapat menimbulkan salah jalan (false route) yang menimbulkan kerusakan uretra dan menyisakan striktura dikemudian hari; demikian pula fiksasi kateter yang tidak benar pada pemakaian kateter menetap menyebabkan penekanan kateter pada perbatasan uretra bulbo-pendulare yang mengakibatkan penekanan uretra terus menerus, menimbulkan hipoksia uretra daerah itu, yang pada akhirnya menimbulkan fistula atau striktura uretra. (Purnomo P Basuki, 2011)
Penyebab umum suatu penyempitan uretra adalah akibat traumatik atau iatrogeni, penyebab lainnya adalah inflamasi, proses keganasan, dan kelainan bawaan uretra. (muttaqin arif & sari kumala , 2011)
Description: https://tentangkedokteran.files.wordpress.com/2009/03/clip-image0041.gif

C.   MANIFESTASI

1.      Kekuatan pancaran dan jumlah urin  berkurang
2.      Gejala infeksi
3.      Retensi urinarius
4.      Adanya aliran balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis dan pielonefritis
 (Susanne, C Smelzer, 2002)
Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil, pancaran bercabang dan menetes sampai retensi urine. Pembengkakan dan getah / nanah di daerah perineum, skrotum dan terkadang timbul bercak darah di celana dalam. Bila terjadi infeksi sistemik penderita febris, warna urine bisa keruh  (Nursalam , 2008).

D.   PATOFISIOLOGI

proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknnya jaringan sikatrik pada uretra. jaringan sikatriks pada lumen uretra menimbulkan hambatan aliran urin hingga retensi urin. Aliran urin yang terhambat mencari jalan keluar ditempat lain (disebelah proksimal striktura) dan akhirnya mengumpul dirongga periuretra. Jika terinfeksi menimbulkan periuretra yang kemudian pecah membentuk fistula uretrokutan. Pada keadaan tertentu dijumpai banyak sekali fistula sehingga disebut sebagai fistula seruling. (Purnomo P Basuki, 2011).
Struktur uretra Terdiri atas lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa terdiri dari epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosannya terdiri atas lapisan erektil vaskuler.
Striktura uretra dapat diakibatkan dari proses peradangan, iskemik, atau traumatic apabila terjadi iritasi uretra, maka akan terjadi proses penyembuhan cara epimorfosis, artinnya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan ikat yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan terbentuknnya jaringan perut yang memberikan manifestasi hilangnnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra (muttaqin arif & sari kumala , 2011).

E.   DERAJAT PENYEMPITAN URETRA

Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktura uretra dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.      Ringan : jika okulasi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen uretra.
2.      Sedang : jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen uretra
3.      Berat : jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen uretra.
Pada penyempitan derajat berat kadang kala teraba jaringan keras dikorpus spongiosum yang dikenal dengan spongiofibrosis.

F.    PEMERIKSAAN PENUNJANG

Untuk mengetahui pola pancaran urine secara objektif, dapat diukur dengan cara sederhana atau dengan memakai alat uroflometri. Derasnya pancaran dapat diukur dengan membagi volume urine yang dikeluarkan pada saat miksi, kecepatan pancaran pria normalnnya adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang dari 10 ml/detik menandakan ada obstruksi.
Untuk melihat letak penyempitan dan besarnnya penyempitan uretra dibuat foto uretrografi. Lebih lengkap lagi mengenai panjang srtiktura adalah dengan membuat foto bipolar sisto-uretrografi dengan cara memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli buli dan secara retrograde dari uretra.
Melihat penyumbatan uretra secara langsung dilakukan melalui uretroskopi, yaitu melihat striktura transutra. Jika diketemukan striktura langsung diikuti dengan uretrotomi interna (sachse) yaitu memotong jaringan fibrotic dengan memakai pisau sachse.

G.  PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Jika pasien dating karena retensi urine, secepatnnya diakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine. Jika dijumpai abses periuretra dilakukan insisi dan pemberian antibiotika.
Tindakan khusus yang dilakukan terhadap striktura uretra adalah :
Businasi (dilatasi) dengan busi logam yang dilakukan secara hati- hati. Tindakan yang kasar tambah akan merusak uretra sehingga menimbulkan luka  baru yang pada akhirnya menimpulkan striktura lagi yang lebih berat. Tindakan ini dapat menimbulkan salah jalan (false route)
Uretrotomi interna yaitu : memotong jaringan striktura uretra dengan pisau Otis atau dengan pisau sachse. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktura total. Sedangkan pada striktura yang lebih berat, pemotongan striktura dikerjakan secara visual dengan memakai pisau sachse.
Uretrotomi eksterna yaitu tindakan oprasi terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis, kemudian dilakukan anastomosis diantara jaringan uretra yang masih sehat.
Pada striktura yang panjang dan buntu total, seringkali diperlukan beberapa tahapan operasi yakni tahap pertama dengan membelah uretra dan membiarkan untuk epitalisasi (johanson I) dan dilanjutkan pada tahap dengan membuat neuretra (johanson II) (Purnomo P Basuki, 2011).
Laboratorium untuk pemeriksaan pelengkap pembedahan. Selain itu beberapa dilakukan untuk mengetahui adannya tanda tanda infeksi melalui pemeriksaan urinalisis dan kultur urine.
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urine dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamannya proses miksi. Kecepatan pancaran urine normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan adannya obstruksi.
Radiologi adalah diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi sehingga dapat melihat letak penyempitan dan besarnnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang sriktura adalah dengan sistouretrografi yaitu memasukan bahan kontras secara antegrad dari buli buli dan secara retrograde dari uretra. Dengan pemeriksaan ini, panjang striktura dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi (muttaqin arif & sari kumala , 2011).

H.  PENATALAKSANAAN MEDIS

Tidak ada terapi medis untuk mengobati penyakit striktura uretra. Intervensi utama untuk mengatasi masalah striktura uretra adalah dengan pembedahan. Beberapa jenis pembedahan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut :
1.      Pelebaran uretra, baik secara uretotomi internal atau pemasangan stant uretra
2.      Bedah rekonstruksi (muttaqin arif & sari kumala , 2011).

I.      PENYULIT/ KOMLIKASI

Obstruksi uretra yang lama menimbulkan stasis urine dan menimbulkan berbagai penyulit, diantarannya adalah : infeksi saluran kemih, terbentuknnya divertikel uretra/buli buli, abses periuretra, batu uretra, fistel uretro-kutan, dan karsinoma uretra. (Purnomo P Basuki, 2011)
Komplikasi terberat yaitu gagal ginjal. (muttaqin arif & sari kumala , 2011)

J.     PATHWAYS

K.  PENGKAJIAN

Keluhan utama pada striktura uretra bervariasi sesuai dengan derajat penyempitan lumen pada uretra. Keluhan utama yang lazim adalah pancaran urin kecil dan berkembang. Keluhan lain biasannya adalah berhubungan dengan gejala iritasi dan infeksi seperti: frekuensi, urgensi, dysuria, inkontinensia, urine yang menetes, kadang kadang dengan penis yang membengkak, infiltrate, abses dan fistel. Keluhan yang lebih berat adalah tidak bisa mengeluarkan urine/tidak bisa miksi(retensi urin)
Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi pada penis didapatkan adannya suatu kelainan akibat fibrosis diuretra, infiltrate,abses atau terbentuknnya suatu fistula. (muttaqin arif & sari kumala , 2011)

L.   DIAGNOSA KEPERAWATAN

1.      Gangguan pemenuhan eliminasi urine b/d retensi urine, obstruksi uretra sekunder dari penyempitan lumen uretra.
2.      Resiko tinggi trauma b/d kerusakan jaringan pascaprosedur pembedahan
3.      Nyeri b/d peradangan dari terminal saraf, dysuria, resistensi otot prostat, efek mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra, nyeri paskabedah.
4.      Resiko tinggi infeksi b/d port de entrรฉe luka pascabedah.
5.      Kecemasan b/d  prognosis pembedahan, tindakan diagnosis invasif
6.      Pemenuhan informasi b/d rencana pembedahan, prognosis penyakit
7.      Gangguan konsep diri (gambaran diri) b/d resiko lerusakan organ seksual (muttaqin arif & sari kumala , 2011).

M. INTERVENSI DAN RASIONAL

1.      Gangguan pemenuhan eliminasi urine b/d retrnsi urine,
Tujuan : dalam waktu 5 kali 24 jam pola eliminasi optimal sesuai kondisi klien.
Kriteria evaluasi    :
-          Eliminasi urin tanpa ada keluhan subjektif, seperti nyeri dan urgensi
-          Eliminasi urin tanpa menggunakan kateter
-          Pasca bedah tanpa ada komplikasi
-          Frekuensi miksi dalam batas 5 sampe 8 kali/24 jam
Interfensi
a.       Kaji pola berkemih dan jatat produksi urin tiap 6 jam
R/ mengetahui pengaruh iritasi kandung kemih dengan frekuensi miksi
b.      Monitor adannya keluhan subjektif pada saat melakukan eliminasi urin
R/ parameter penting dalam mengevaluasi intervensi yang telah dilaksanakan
c.       Kolaborasi :
§  Peleburan uretra, baik secara uretrotomi internal atau pemasangan stain uretra
§  Bedah rekonstruksi
R/ intervensi bedah dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan eliminasi urin, pemilihan jenis pembedahan dilakukan sesuai derajat penyempitan dan tingkat toleransi individu.
d.      Evaluasi paska intervensi pasca pelebaran uretra
R/kekambuhan striktur uretra dari intervensi pelebaran uretra adalah komplikasi yang paling umum. Meskipun jarang, intervensi untuk melebarkan uretra dapat menyebabkan trauma uretra, kondisi ini termasuk instrument yang dimasukan melalui urothelium kedalam korpus spongeosum. Resiko ini dapat diminimalisasi dengan tehnik hati” dan pemilihan pelebaran yang tepat untuk pasien.
2.      Resiko tinggi trauma b/d kerusakan jaringan pascaprosedur pembedahan
Tujuan : dalam waktu 5 kali 24 jam tidak mengalami trauma pasca bedah.
Kriteria evaluasi :
-          Tidak ada keluhan subjektif, seperti dysuria dan urgensi
-          Eliminasi urin tanpa menggunakan kateter
-          Pasca bedah tanpa adannya komplikasi
Intervensi
a.       Monitor adannya keluahan subjektif pada saat melakukan eliminasi urin
R/ parameter penting dalam mengevaluasi intervensi yang telah dilaksanakan.
b.      Istirahatkan pasien setelah pembedahan
R/ pasien dianjurkan tirah baring selama 48 jam, tergantung pada sejauh mana prosedur yang telah dilakukan.
c.       Lepas kateter pada hari 1-3 pasca oprasi
R/ menurunkan resiko cidera pada uretra.
d.      Evaluasi pasca – intervensi pelebaran uretra
R/ kekambuhan striktur uretra dari intervensi pelebaran uretra adalah komplikasi yang paling umum. Meskipun jarang intervensi untuk melebarkan uretra dapat menyebabkan trauma uretra, kondisi ini termasuk instrument yang dimasukan melalui urothelium kedalam korpus spongeosum. Resiko ini dapat diminimalisasi dengan tehnik hati” dan pemilihan pelebaran yang tepat untuk pasien.
e.       Kolaborasi
1.      Antibiotic intervena pasca oprasi
R/ menurunkan resiko infeksi yang akan meningkatkan respon trauma jaringan pasca bedah.
2.      Agen anti muskarinik
Sering digunakan untuk mencegah kejang kansung kemih

Bibliography

muttaqin arif & sari kumala . (2011). asuhan keperawatan gangguan sistem perkemihan. jakarta: salemba medika.
Purnomo P Basuki. (2011). dasar dasar urologi edisi 3. malang: sagung seto.





ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn S DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST TVP PENYAKIT BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA



ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn S DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST TVP PENYAKIT BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang berjudul “ASUHAN KEPERAWATAN Tn. S DENGAN GANGGUAN RASA NYAMAN POST TVP PENYAKIT BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA”
Makalah ini berisikan tentang informasi Pengertian BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA atau yang lebih khususnya membahas tentang etiologi ,Patofisiologi serta Asuhan keperawatan BPH. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.





                                                                               Semarang, 3 juli 2015


Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I                         PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
B.     TUJUAN PENULISAN
C.     METODE PEENULISAN
D.    SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II            KONSEP DASAR
A.    KONSEP DASAR PENYAKIT
1.                 Anatomi dan Fisiologi
2.                 Pengertian
3.                 Etiologi
4.                 Patofisiologi
5.                 Manifestasi Klinis
6.                 Penatalaksanaan
B.     KONSEP KEBUTUHAN DASAR GANGGUAN RASA NYAMAN
1.      Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
2.      Diagnosa Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
3.       Fokus Intervensi Dan Rasionalnya Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman.
BAB III          RESUME ASKEP
A.    Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
B.     Pathways Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien
C.     Diagnosa Keperawatan Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien, Dan Fokus Intervensi Dan Rasionalnya Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman Pada Pasien.
BAB IV          PEMBAHASAN
BAB V            PENUTUP
            Simpulan Dan Saran.


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Kelenjar prostat adalah satu organ genetalia pria yang terletak disebelah inferior buli buli dan melingkari uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram (Purnomo,  2011). Bila mengalami pembesaran atau hiperplasy organ ini dapat menyumbat uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli atau lebih dikenal Benigna Prostat Hiperplasy (BPH). Benigna Prostat Hiperplasy (BPH) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat yang disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua bagian prostat meliputi jaringan kelenjar/ jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pers prostatika  (Soetomo, 1994).
Pasien yang telah dilakukan tindakan pembedahan bukan berarti tidak timbul masalah lain, masalah yang dapat terjadi setelah tindakan  trans vesica prostatectomy (TVP) seperti pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak, retensi urine, inkontinensia urine, impotensi dan terjadi infeksi (Purnomo, 2011). Dari 168 pasien yang menjalani trans vesica prostatectomy (TVP), 15 % diperlukan tranfusi darah pasca operasi. Komplikasi lain yang biasa terjadi adalah perforasi usus, infeksi luka bedah, disfungsi ereksi, diamati pada 164 pasien (98%), perubahan berkemih pada 32 pasien (19%) dan perubahan usus (11%). Diantara perubahan perubahan eliminasi urin ditemukan, yang paling sering (64%) adalah inkontinensia urin (Escudero, 2006).
BPH merupakan penyakit yang biasa terjadi pada laki-laki usia lanjut, ditandai dengan pertumbuhan yang sangat cepat pada epitel prostat dan daerah transisi jaringan fibromuscular pada daerah periurethral yang bisa menghalangi dan mengakibatkan pengeluaran urin yang tertahan. Data prevalensi tentang BPH secara mikroskopi dan anatomi sebesar 40% dan 90 % terjadi pada rentang usia 50-60 tahun dan 80-90 tahun. Hasil penelitian menunjukkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap BPH adalah umur  50 tahun (OR = 6,27 ; 95% CI : 1,71-22,99 ; p = 0,006), riwayat keluarga (OR = 5,28 ; 95% CI : 1,78-15,69 ; p = 0,003), kurangnya makan-makanan berserat (OR = 5,35 ; 95% CI : 1,91-14,99 ; p = 0,001) dan kebiasaan merokok (OR = 3,95 ; 95% CI : 1,35-11,56 ; p = 0,012). Sedangkan faktor-faktor risiko yang tidak berpengaruh terhadap BPH adalah riwayat obesitas (OR = 1,784 ; 95% CI : 0,799-3,987 ; p = 0,156), kebiasaan berolahraga (OR = 3,039 ; 95% CI : 1,363-6,775 ; p = 0,006), Riwayat penyakit Diabetes Mellitus (OR = 5,829 ; 95% CI : 1,803-18,838 ; p = 0,001), Kebiasaan minum-minuman beralkohol (OR = 1,973 ; 95% CI : 0,821-4,744 ; p = 0,126). Probabilitas untuk individu untuk terkena BPH dengan semua faktor risiko diatas adalah sebesar 93,27 %. Faktor risiko terjadinya pembesaran prostat jinak adalah umur, riwayat keluarga, kurangnya makan-makanan berserat dan kebiasaan merokok (Amalia, 2010).

B.     TUJUAN PENULISAN
1.      Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
2.      Tujuan Khusus :
a.       Mahasiswa mampu melakukan pengkajian asuhan keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
b.      Mahasiswa mampu membuat pathways keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
c.       Mahasiswa mampu membuat diagnosa keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia
d.      Mahasiswa mampu membuat intervensi keperawatan gangguan rasa nyaman pada Tn N dengan Benigna Prostat Hiperplasia

C.     METODE PENULISAN
1.      Metode Diskriptif yang menggunakan pendekatan studi kasus melalui pendekatan proses keperawatan dengan langkah pengkajian, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
2.      Sumber data :
Studi kepustakaan dengan mempelajari buku sumber yang berhubungan dengan masalah Benigna Prostat Hiperplasia.

D.    SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan seminar/presentasi keperawatan penulis membagi 5 BAB :
1.      BAB I : PENDAHULUAN yang berisi latar belakang, tujuan penulisan, metode peenulisan dan sistematika penulisan.
2.      BAB II : KONSEP DASAR yang berisi konsep dasar BPH yang meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis dan penatalaksanaan. Konsep kebutuhan dasar gangguan rasa nyaman meliputi pengkajian fokus gangguan kebutuhan rasa nyaman, pathways keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman, diagnosa keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman, dan fokus intervensi dan rasionalnya gangguan kebutuhan rasa nyaman.
3.      BAB III : RESUME ASKEP BPH berisi Pengkajian fokus gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien, pathways keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien, diagnosa keperawatan gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien, dan fokus intervensi dan rasionalnya gangguan kebutuhan rasa nyaman pada pasien.
4.      BAB IV : PEMBAHASAN berisi kesenjangan antara teori dan kasus, disertai justifikasi yang jelas.
5.      BAB V   : PENUTUP berisi simpulan dan saran.
















BAB II
KONSEP DASAR

A.    KONSEP DASAR BPH
1.      Anatomi dan Fisiologi Prostat
1)      Anatomi Prostat
Menurut Wibowo dan Paryana (2009). Kelenjar prostat terletak dibawah kandung kemih, mengelilingi uretra posterior dan disebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut sebagai otot dasar panggul.
    
Gambar 2. 1 : Letak anatomi prostat ( Hidayat, 2009 )

Prostat terdiri atas kelenjar majemuk, saluran-saluran, dan otot polos Prostat dibentuk oleh jaringan kelenjar dan jaringan fibromuskular. Prostat dibungkus oleh capsula fibrosa dan bagian lebih luar oleh fascia prostatica yang tebal. Diantara fascia prostatica dan capsula fibrosa terdapat bagian yang berisi anyaman vena yang disebut plexus prostaticus. Fascia prostatica berasal dari fascia pelvic yang melanjutkan diri ke fascia superior diaphragmatic urogenital, dan melekat pada os pubis dengan diperkuat oleh ligamentum puboprostaticum. Bagian posterior fascia prostatica membentuk lapisan lebar dan tebal yang disebut fascia Denonvilliers. Fascia ini sudah dilepas dari fascia rectalis dibelakangnya. Hal ini penting bagi tindakan operasi prostat ( Purnomo, 2011).
Kelenjar prostat merupakan suatu kelenjar yang terdiri dari 30- 50 kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus posterior, lobus lateral, lobus anterior, dan lobus medial. Lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus ejakulatorius, lobus lateral yang terletak dikanan uretra, lobus anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan lobus dekstra dan lobus sinistra, bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi otot polos, selanjutnya lobus medial yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius, banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan terbentuknya uvula vesicae yang menonjol kedalam vesica urinaria bila lobus medial ini membesar. Sebagai akibatnya dapat terjadi bendungan aliran urin pada waktu berkemih (Wibowo dan Paryana, 2009).
Kelenjar ini pada laki-laki dewasa kurang lebih sebesar buah walnut atau buah kenari besar. Ukuran, panjangnya sekitar 4 - 6 cm, lebar 3 - 4 cm, dan tebalnya kurang lebih 2 - 3 cm dengan berat sekitar 20 gram. Bagian- bagian prostat terdiri dari 50 – 70 % jaringan kelenjar, 30 – 50 % adalah jaringan stroma (penyangga) dan kapsul/muskuler.
Prostat merupakan inervasi otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus atau pleksus pelvikus yang menerima masukan serabut parasimpatik dari korda spinalis dan simpatik dari nervus hipogastrikus. Rangsangan parasimpatik meningkatkan sekresi kelenjar pada epitel prostat, sedangkan rangsangan simpatik menyebabkan pengeluaran cairan prostat kedalam uretra posterior, seperti pada saat ejakulasi. System simpatik memberikan inervasi pada otot polos prostat, kapsula prostat, dan leher buli-buli. Ditempat itu terdapat banyak reseptor adrenergic. Rangsangan simpatik menyebabkan dipertahankan tonus otot tersebut. Pada usia lanjut sebagian pria akan mengalami pembesaran kelenjar prostat akibat hiperplasi jinak sehingga dapat menyumbat uretra posterior dan mengakibatkan terjadinya obstruksi saluran kemih (Purnomo, 2011).
2)      Fisiologi Prostat
Menurut Purnomo (2011) fisiologi prostat adalah suatu alat tubuh yang tergantung kepada pengaruh endokrin. Pengetahuan mengenai sifat endokrin ini masih belum pasti. Bagian yang peka terhadap estrogen adalah bagian tengah, sedangkan bagian tepi peka terhadap androgen. Oleh karena itu pada orang tua bagian tengahlah yang mengalami hiperplasi karena sekresi androgen berkurang sehingga kadar estrogen relatif bertambah. Sel-sel kelenjar prostat dapat membentuk enzim asam fosfatase yang paling aktif bekerja pada pH 5. Kelenjar prostat mensekresi sedikit cairan yang berwarna putih susu dan bersifat alkalis. Cairan ini mengandung asam sitrat, asam fosfatase, kalsium dan koagulase serta fibrinolisis. Selama pengeluaran cairan prostat, kapsul kelenjar prostat akan berkontraksi bersamaan dengan kontraksi vas deferen dan cairan prostat keluar bercampur dengan semen yang lainnya. Cairan prostat merupakan 70% volume cairan ejakulat dan berfungsi memberikan makanan spermatozon dan menjaga agar spermatozon tidak cepat mati di dalam tubuh wanita, dimana sekret vagina sangat asam (pH: 3,5-4). Cairan ini dialirkan melalui duktus skretorius dan bermuara di uretra posterior untuk kemudian dikeluarkan bersama cairan semen yang lain pada saat ejakulasi. Volume cairan prostat kurang lebih 25% dari seluruh volume ejakulat. Dengan demikian sperma dapat hidup lebih lama dan dapat melanjutkan perjalanan menuju tuba uterina dan melakukan pembuahan, sperma tidak dapat bergerak optimal sampai pH cairan sekitarnya meningkat 6 sampai 6,5 akibatnya mungkin bahwa cairan prostat menetralkan keasaman cairan dan lain tersebut setelah ejakulasi dan sangat meningkatkan pergerakan dan fertilitas sperma ( Wibowo dan Paryana, 2009 ).
2.      Pengertian BPH
Ada beberapa pengertian penyakit Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) menurut beberapa ahli adalah :
1)      Benigna Prostate Hiperplasia (BPH) merupakan perbesaran kelenjar prostat, memanjang ke atas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra akibatnya terjadi dilatasi ureter (hidroureter) dan ginjal (hidronefrosis) secara bertahap (Smeltzer dan Bare, 2002).
2)      BPH merupakakan pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa, prostat tersebut mengelilingi uretra dan, dan pembesaran bagian periuretral menyebabkan obstruksi leher kandung kemih dan uretra parsprostatika yang menyebabkan aliran kemih dari kandung kemih (Price dan Wilson, 2006).
3)       BPH merupakan suatu keadaan yang sering terjadi pada pria umur 50 tahun atau lebih yang ditandai dengan terjadinya perubahan pada prostat yaitu prostat mengalami atrofi dan menjadi nodular, pembesaran dari beberapa bagian kelenjar ini dapat mengakibatkan obstruksi urine ( Baradero, Dayrit, dkk, 2007).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Benigna Prostat Hiperplasi (BPH) merupakan penyakit pembesaran prostat yang disebabkan oleh proses penuaan, yang biasa dialami oleh pria berusia 50 tahun keatas, yang mengakibatkan obstruksi leher kandung kemih, dapat menghambat pengosongan kandung kemih dan menyebabkan gangguan perkemihan.
3.      Penyebab BPH
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan terjadinya BPH adalah proses penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
a.    Dihydrotestosteron
          Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
b.     Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.


c.          Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunantransforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
d.    Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
e.          Teori sel stem
Teori sel steam menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel steam sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjprostat menjadi berlebihan (Poernomo, 2000, hal 74-75).atau Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).

4.      Patofisiologi BPH
Hiperplasi prostat adalah pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, pertumbuhan tersebut dimulai dari bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan kelenjar normal yang tersisa. Jaringan hiperplastik terutama terdiri dari kelenjar dengan stroma fibrosa dan otot polos yang jumlahnya berbeda-beda. Proses pembesaran prostad terjadi secara perlahan-lahan sehingga perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri ( Baradero, dkk 2007).
 Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria ( Purnomo, 2011).
 Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin, dapat menyebabkan terbentuknya batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De jong, 2005).

5.      Manifestasi Klinis BPH
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih.
1)      Keluhan pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif.

Gejala iritatif meliputi:
a.       (frekuensi) yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada    malam hari (Nocturia) dan pada siang hari.
b.       (nokturia),  terbangun untuk miksi pada malam hari
c.       (urgensi)  perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di tahan
d.      (disuria).nyeri pada saat miksi

Gejala obstruktif meliputi:
a.       rasa tidak lampias sehabis miksi.
b.      (hesitancy), yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
c.       (straining)  harus mengejan
d.       (intermittency)  yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien.

2)      Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer.

3)      Gejala di luar saluran kemih
Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000, hal 77 – 78; Mansjoer, 2000, hal 330).

4)      warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua.

Menurut Long (1996, hal. 339-340), pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala:
1.      Hemorogi
a.       Hematuri
b.      Peningkatan nadi
c.       Tekanan darah menurun
d.      Gelisah
e.       Kulit lembab
f.       Temperatur dingin
2.      Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat
3.      Gejala-gejala intoksikasi air secara dini:
a.       bingung
b.      agitasi
c.       kulit lembab
d.      anoreksia
e.       mual
f.       muntah

6.      Penatalaksanaan BPH
1)      Observasi
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Pasien dianjurkan untuk mengurangi minum setelah makan malam yang ditujukan agar tidak terjadi nokturia, menghindari obat-obat dekongestan (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi dan tidak diperbolehkan minum alkohol agar tidak terlalu sering miksi. Pasien dianjurkan untuk menghindari mengangkat barang yang berat agar perdarahan dapat dicegah. Ajurkan pasien agar sering mengosongkan kandung kemih (jangan menahan kencing terlalu lama) untuk menghindari distensi kandung kemih dan hipertrofi kandung kemih. Secara periodik pasien dianjurkan untuk melakukan control keluhan, pemeriksaan laboratorium, sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur (Purnomo, 2011).
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat menurut Purnomo (2011) dapat diperkirakan dengan mengukur residual urin dan pancaran urin:
a.       Residual urin, yaitu jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin dapat diukur dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah miksi.
b.      Pancaran urin (flow rate), dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat urofometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.
2)      Terapi medikamentosa Menurut Baradero dkk (2007) tujuan dari obat-obat yang diberikan pada penderita BPH adalah :
a.       Mengurangi pembesaran prostat dan membuat otot-otot berelaksasi untuk mengurangi tekanan pada uretra
b.      Mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan alfa blocker (penghambat alfa adrenergenik)
c.       Mengurangi volum prostat dengan menentuan kadar hormone testosterone/ dehidrotestosteron (DHT).
Adapun obat-obatan yang sering digunakan pada pasien BPH, menurut Purnomo (2011) diantaranya : penghambat adrenergenik alfa, penghambat enzin 5 alfa reduktase, fitofarmaka.
1)      Penghambat adrenergenik alfa Obat-obat yang sering dipakai adalah prazosin, doxazosin, terazosin, afluzosin atau yang lebih selektif alfa 1a (Tamsulosin). Dosis dimulai 1mg/hari sedangkan dosis tamsulosin adalah 0,2-0,4 mg/hari. Penggunaaan antagonis alfa 1 adrenergenik karena secara selektif dapat mengurangi obstruksi pada buli-buli tanpa merusak kontraktilitas detrusor. Obat ini menghambat reseptor-reseptor yang banyak ditemukan pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat sehingga terjadi relakasi didaerah prostat. Obat-obat golongan ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin. Hal ini akan menurunkan tekanan pada uretra pars prostatika sehingga gangguan aliran air seni dan gejala-gejala berkurang. Biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam 1-2 minggu setelah ia mulai memakai obat. Efek samping yang mungkin timbul adalah pusing, sumbatan di hidung dan lemah. Ada obat-obat yang menyebabkan ekasaserbasi retensi urin maka perlu dihindari seperti antikolinergenik, antidepresan, transquilizer, dekongestan, obat- obat ini mempunyai efek pada otot kandung kemih dan sfingter uretra.
2)      Pengahambat enzim 5 alfa reduktase Obat yang dipakai adalah finasteride (proscar) dengan dosis 1X5 mg/hari. Obat golongan ini dapat menghambat pembentukan DHT sehingga prostat yang membesar akan mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat dari golongan alfa bloker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang besar. Efektifitasnya masih diperdebatkan karena obat ini baru menunjukkan perbaikan sedikit/ 28 % dari keluhan pasien setelah 6-12 bulan pengobatan bila dilakukan terus menerus, hal ini dapat memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi. Efek samping dari obat ini diantaranya adalah libido, impoten dan gangguan ejakulasi.
3)      Fitofarmaka/fitoterapi Penggunaan fitoterapi yang ada di Indonesia antara lain eviprostat. Substansinya misalnya pygeum africanum, saw palmetto, serenoa repeus dll. Afeknya diharapkan terjadi setelah pemberian selama 1- 2 bulan dapat memperkecil volum prostat.
3)      Terapi bedah
Pembedahan adalah tindakan pilihan, keputusan untuk dilakukan pembedahan didasarkan pada beratnya obstruksi, adanya ISK, retensio urin berulang, hematuri, tanda penurunan fungsi ginjal, ada batu saluran kemih dan perubahan fisiologi pada prostat. Waktu penanganan untuk tiap pasien bervariasi tergantung pada beratnya gejala dan komplikasi. Menurut Smeltzer dan Bare (2002) intervensi bedah yang dapat dilakukan meliputi : pembedahan terbuka dan pembedahan endourologi.
a.       Pembedahan terbuka, beberapa teknik operasi prostatektomi terbuka yang biasa digunakan adalah :
a)      Prostatektomi suprapubik Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen. Insisi dibuat dikedalam kandung kemih, dan kelenjar prostat diangat dari atas. Teknik demikian dapat digunakan untuk kelenjar dengan segala ukuran, dan komplikasi yang mungkin terjadi ialah pasien akan kehilangan darah yang cukup banyak dibanding dengan metode lain, kerugian lain yang dapat terjadi adalah insisi abdomen akan disertai bahaya dari semua prosedur bedah abdomen mayor.
b)      Prostatektomi perineal Adalah suatu tindakan dengan mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Teknik ini lebih praktis dan sangat berguan untuk biopsy terbuka. Pada periode pasca operasi luka bedah mudah terkontaminasi karena insisi dilakukan dekat dnegan rectum. Komplikasi yang mungkin terjadi dari tindakan ini adalah inkontinensia, impotensi dan cedera rectal.
c)      Prostatektomi retropubik Adalah tindakan lain yang dapat dilakukan, dengan cara insisi abdomen rendah mendekati kelenjar prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki kandung kemih. Teknik ini sangat tepat untuk kelenjar prostat yang terletak tinggi dalam pubis. Meskipun jumlah darah yang hilang lebih dapat dikontrol dan letak pembedahan lebih mudah dilihat, akan tetapi infeksi dapat terjadi diruang retropubik.

b.      Pembedahan endourologi, pembedahan endourologi transurethral dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik diantaranya:
a)                       Transurethral Prostatic Resection (TURP)
Merupakan tindakan operasi yang paling banyak dilakukan, reseksi kelenjar prostat dilakukan dengan transuretra menggunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan dioperasi tidak tertutup darah. Indikasi TURP ialah gejala-gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gr.Tindakan ini dilaksanakan apabila pembesaran prostat terjadi dalam lobus medial yang langsung mengelilingi uretra. Setelah TURP yang memakai kateter threeway. Irigasi kandung kemih secara terus menerus dilaksanakan untuk mencegah pembekuan darah. Manfaat pembedahan TURP antara lain tidak meninggalkan atau bekas sayatan serta waktu operasi dan waktu tinggal dirumah sakit lebih singkat.Komplikasi TURP adalah rasa tidak enak pada kandung kemih, spasme kandung kemih yang terus menerus, adanya perdarahan, infeksi, fertilitas (Baradero dkk, 2007).
b)                      Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Adalah prosedur lain dalam menangani BPH. Tindakan ini dilakukan apabila volume prostat tidak terlalu besar atau prostat fibrotic. Indikasi dari penggunan TUIP adalah keluhan sedang atau berat, dengan volume prostat normal/kecil (30 gram atau kurang). Teknik yang dilakukan adalah dengan memasukan instrument kedalam uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan mengurangi konstriksi uretral. Komplikasi dari TUIP adalah pasien bisa mengalami ejakulasi retrograde (0-37%) (Smeltzer dan Bare, 2002).

c)                       Terapi invasive minimal
 Menurut Purnomo (2011) terapi invasive minimal dilakukan pada pasien dengan resiko tinggi terhadap tindakan pembedahan. Terapi invasive minimal diantaranya Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), Transuretral Needle Ablation/Ablasi jarum Transuretra (TUNA), Pemasangan stent uretra atau prostatcatt.
1.      Transurethral Microvawe Thermotherapy (TUMT), jenis pengobatan ini hanya dapat dilakukan di beberapa rumah sakit besar. Dilakukan dengan cara pemanasan prostat menggunakan gelombang mikro yang disalurkan ke kelenjar prostat melalui transducer yang diletakkan di uretra pars prostatika, yang diharapkan jaringan prostat menjadi lembek. Alat yang dipakai antara lain prostat.
2.      Transuretral Ballon Dilatation (TUBD), pada tehnik ini dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala sumbatan, namun efek ini hanya sementar, sehingga cara ini sekarang jarang digunakan
3.      Transuretral Needle Ablation (TUNA), pada teknik ini memakai energy dari frekuensi radio yang menimbulkan panas mencapai 100 derajat selsius, sehingga menyebabkan nekrosis jaringan prostat. Pasien yang menjalani TUNA sering kali mengeluh hematuri, disuria, dan kadang-kadang terjadi retensi urine (Purnomo, 2011). d) Pemasangan stent uretra atau prostatcatth yang dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat, selain itu supaya uretra prostatika selalu terbuka, sehingga urin leluasa melewati lumen uretra prostatika. Pemasangan alat ini ditujukan bagi pasien yang tidak mungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi.

B.     KONSEP DASAR GANGGUAN KEBUTUHAN RASA NYAMAN PADA PENYAKIT BPH
1.      Pengkajian Fokus Gangguan Kebutuhan Rasa Nyaman
Pengkajian nyeri akut penting untuk upaya penatalaksanaan nyeri yang afektif. Karena nyeri merupakan pengalaman yang subjektif dan dirasakan secara berbeda pada masing-masing individu, maka perawat perlu mengkaji semua factor yang mempengaruhi nyeri, seperti factor fisiologis, psikologis, perilaku, emosional, dan sosiokultural. Pengkajian nyeri terdiri atas dua komponen utama, yakni (a) riwayat nyeri untuk mendapatkan data dari klien dan (b) observasi langsung pada respon perilaku dan fisiologis klien. Tujuan pengkajian adalah untuk mendapatkan pemahaman objektif terhadap pengalaman subjek. Pengkajian dapat dilakukan dengan cara PQRST :
P (pemicu) yaitu faktor yang mempengaruhi gawat atau ringannya nyeri.
Q (quality) dari nyeri, apakah rasa tajam, tumpul atau tersayat.
R (region) yaitu daerah perjalanan nyeri.
S (severty) adalah keparahan atau intensits nyeri.
T (time) adalah lama/waktu serangan atau frekuensi nyeri.
    1. Riwayat  Nyeri
Saat mengkaji riwayat nyeri, perawat sebaiknya memberikan klien kesempatan untuk mengungkapkan cara pandang mereka terhadap nyeri dan situasi tersebut dengan kata-kata mereka sendiri. Langkah ini akan membantu perawt memahami makna nyeri bagi klien dan bagaimana ia berkoping terhadap aspek, antara lain :
1).  Lokasi
Untuk menentukan lokasi nyeri yang spesifik, minta klien menunjukkan area nyerinya. Pengkajian ini biasanya dilakukan dengan bantuan gambar tubuh. Klien biasanya menandai bagian tubuhnya yang mengalami nyeri. Ini sangat bermanfaat, terutama untuk klien yang memiliki lebih dari satu sumber nyeri.
2).  Intensitas Nyeri
Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan terpercaya untuk menentukan intensitas nyeri pasien. Skala nyeri yang paling sering digunakan adalah rentang 0-5 atau 0-10. Angka “0” menandakan tidak nyeri sama sekali dan angka tertinggi menandakan nyeri “terhebat” yang dirasakan klien. Intensitas nyeri dapat diketahui dengan bertanya kepada pasien melalui skala nyeri wajah, yaitu Wong-Baker FACES Rating Scale yang ditujukan untuk klien yang tidak mampu menyatakan intensitas nyerinya melalui skala angka. Ini termasuk anak-anak yang tidak mampu berkomunikasi secara verbal dan lan sia yang mengalami gangguan komunikasi.
Keterangan
0               : Tidak nyeri
1-3            : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat  berkomunikasi dengan baik).
4-6            : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskribsikan nyeri, dapat mengikuti perintah dengan baik).
7-9     : Nyeri berat (secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan nyeri, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, napas panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat (klien sudah tidak bisa                                                                                            berkomunikasi).

3).  Kualitas Nyeri
Terkadang nyeri bisa terasa seperti “dipukul-pukul” atau “ditusuk-tusuk”. Perawat perlu mencatat kata-kata yang digunakan klien untuk menggambarkan nyerinya sebab informasi yang akurat dapat berpengaruh besar pada diagnosis dan etiologi nyeri serta pilihan tindakan yang diambil.
4). Pola
Pola nyeri meliputi: waktu awitan, durasi/lamanya nyeri dan kekambuhan atau interval nyeri. Karenanya, perawat perlu mengkaji kapan nyeri dimulai, berapa lama nyeri berlangsung, apakah nyeri berulang dan kapan nyeri terakhir kali muncul.
5). Faktor  Presipitasi
Terkadang aktivitas tertentu dapat memicumunculnya nyeri. Sebagai contoh: aktivitas fisik yang berat dapat menimbulkan nyeri dada. Selain itu, faktor lingkungan (lingkungan yang sangat dingin atau sangat panas), stresor fisik dan emosional juga dapat memicu munculnya nyeri.         
6). Gejala yang menyertai
Gejala ini meliputi: mual, muntah, pusing dan diare. Gejala tersebut bisa disebabkan oleh awitan nyeri atau oleh nyeri itu sendiri.
7). Pengaruh aktifitas sehari-hari
Dengan mengetahui sejauh mana nyeri mempengaruhi aktivitas harian klien akan akan membantu perawat memahami persepsi klien tentang nyeri. Beberapa aspek kehidupan yang perlu dikaji terkait nyeri adalah tidur, nafsu makan, konsentrasi, pekerjaan, hubungan interpesonal, hubungan pernikahan, aktivitas di rumah, aktivitas waktu seggang serta status emosional.



8). Sumber koping
Setiap individu memiliki strategi koping yang berbeda dalam menghadapi nyeri. Strategi tersebut dapat dipengaruhi oleh oleh pengalaman nyeri sebelumnya atau pengaruh agama/budaya.
9). Respon afektif
Respon afektif klien terhadap nyeri bervariasi, tergantung pada situasi, derajat dandurasi nyeri, interpretasi tentang nyeri dan banyak faktor lainnya. Perawat perlu mengkaji adanya perasaan ansietas, takut, lelah, depresi atau perasaan gagal pada diri klien.
    1. Observasi respons perilaku dan fisiologis
Banyak respons nonverbal/perilaku yang bisa dijadikan indikator nyeri diantaranya :
                     1). Ekspresi wajah:
a)      Menutup mata rapat-rapat
b)      Membuka mata lebar-lebar
c)      Menggigit bibir bawah
         2). Vokalisasi:
a)      Menangis
b)      Berteriak
3). Imobilisasi (bagian tubuh yang mengalami nyeri akan   digerakan tubuh     tanpa     tujuan yang jelas):
a)         Menendang-nendang
b)        Membolak-balikkan tubuh diatas kasur
Sedangkan respons fisiologis untuk nyeri bervariasi, bergantung pada sumber dan durasi nyeri. Pada awal awitan nyeri akut, respons fisiologis:
a)      Peningkatan tekanan darah
b)       Nadi dan pernapasan
c)      Diaforesis
d)     Dilatasi pupil akibat terstimulasinya sistem saraf simpatis.
2.      Diagnosa Keperawatan
a)      Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik.
b)      Nyeri kronis berhubungan dengan kerusakan jaringan.
3.      Intervensi Keperawatan




















ASUHAN KEPERAWATAN Tn.S DENGAN BPH POST PROSTATEKTOMY
DI RUANG PRABU KRESNA RSUD KOTA SEMARANG

A. BIODATA
  1. Identitas pasien
Nama                         : Tn. Sugiyan
Umur                        : 65 tahun
Jenis Kelamin            : Laki-laki
Suku Bangsa              : Jawa
Agama                       : Islam
Status perkawinan     : Menikah 1 kali
Pendidikan                : SD
Pekerjaan                   : Tani
Alamat                       : Pucang Gading RT/RW : 07/11 ,Mranggen,Demak
Tanggal Masuk          : 22 Juni 2015
No. Register              : 198785
Diagnosa medis         : BPH
  1. Penanggung jawab
Nama                        : Ny. Neli Darwati
Umur                        : 48 tahun
Jenis Kelamin           : Perempuan
Pendidikan               : MTs
Pekerjaan                  : Ibu Rumah Tangga
Hub. dengan pasien : Istri

B. RIWAYAT KESEHATAN
  1. Keluhan Utama
Perut bagian kiri sakit, dada sakit
  1. Riwayat penyakit sekarang
  1. Alasan dirawat dirumah sakit / perjalanan penyakit
BAK sulit
  1. Faktor pencetus
Umur sudah tua
  1. Lamanya keluhan
2 hari
  1. Timbulnya keluhan (bertahap/mendadak)
bertahap
  1. Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Jika sakit dipijitkan
  1. Riwayat perawatan dan kesehatan dahulu
Pernah dirawat di Puskesmas selama 1 minggu karena typoid
  1. Riwayat kesehatan keluarga
Paman pernah menderita tumor

C.    POLA KESEHATAN FUNGSIONAL( DATA FOKUS)
  1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
  1. Persepsi pasien tentang kesehatan diri
Sebelum sakit        : kesehatan adalah nikmat dari Allah
Setelah dirawat     : kesehatan adalah nikmat dari Allah
  1. Pengetahuan dan persepsi pasien tentang penyakitnya
Sebelum sakit        : perut kiri ada benjolan
Setelah dirawat     : BAK sulit karena penyakit prostat
  1. Upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan kesehatan
Sebelum sakit        : pasien jarang bberobat
Setelah dirawat     : pasien berobat langsunng ke Puskesmas
  1. Kemampuan pasien untuk mengontrol kesehatan (apa yang dilakukan pasien bila sakit, kemana pasien  biasa  berobat bila sakit)
Sebelum sakit        : pasien biasa kerokan kalau sakit
Setelah dirawat     : pasien periksa di Puskesmas dan Rumah Sakit
  1. Kebiasaan hidup
Sebelum sakit        : pasien dahulu konsumsi kopi dan rokok
Setelah dirawat     : pasien tidak merokok dan minum kopi
  1. Faktor sosioekonomi yang berhubungan dengan kesehatan
Sebelum sakit        : pasien terdaftar di Jamkesmas
Setelah dirawat     : pasien terdaftar di Jamkesmas


  1. Pola nutrisi dan metabolik
  1. Pola makan
Sebelum sakit        : pasien biasa makan 3 kali sehari
Setelah dirawat     : pasien makan tidak seperti biasanya
  1. Apakah keadaan sakit saat ini mempengaruhi pola makan/minum
Sebelum sakit        : pasien biasa habis 1 porsi setiap makan
Setelah dirawat     : pasien tidak habis 1 porsi setiap makan
  1. Makanan yang disukai pasien, adakah makanan pantangan / makanan tertentu yang menyebabkan alergi, adakah makanan yang dibatasi
Sebelum sakit        :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
Setelah dirawat     :pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan
  1. Adakah keyakinan atau kebudayaan yang dianut yang mempengaruhi diit
Sebelum sakit        : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
Setelah dirawat     : kebudayaan pasien tidak mempengaruhi diit
  1. Kebiasaan mengkonsumsi vitamin/obat penambah nafsu makan  (jumlah yang dikonsumsi setiap hari, sudah berapa lama)
Sebelum sakit        : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan
Setelah dirawat     : pasien tidak biasa mengkonsumsi vitamin penambah nafsu makan
  1. Keluhan dalam makan
Sebelum sakit        : pasien tidak memiliki keluhan dalam makan
Setelah dirawat     : pasien mual setelah operasi
  1. Pola minum
Sebelum sakit        : pasien biasa minum air putih kurang lebih 8 gelas sehari
Setelah dirawat     : pasien biasa minum 3 gelas sehari
  1. Bila pasien terpasang infuse berapa cairan yang masuk sehari
Pasien terpasang infus pada ektremitas atas sebelah kanan dan dalam satu hari cairan yang masuk 1-3 plabot perhari
  1. Keluhan demam
Post operasi hari ke 1-3 pasien merasa demam



  1. Pola eliminasi
  1. Eliminasi feses
      Sebelum sakit        : pasien biasa BAB 1 kali sehari
      Setelah dirawat     : pasien belum pernah BAB setelah dioperasi
b.      Eliminasi urin
Sebelum sakit       : pasien BAK seperti biasanya, warna urin jernih
Setelah dirawat    : pasien BAK melalui kateter, warna urin pasien keruh

  1. Pola aktifitas dan latihan
a.       Kegiatan dalam pekerjaan
      Sebelum sakit        : pasien biasa bekerja dan beraktivitas
      Setelah dirawat     : pasien tidak bisa bekerja dan beraktivitas seperti biasanya
b.      Keluhan dalam aktivitas
Sebelum sakit        : pasien biasa melakukan aktivitas tanpa bantuan
Setelah dirawat     : semua aktivitas pasien dibantu oleh keluarga

  1. Pola istirahat dan tidur
  1. Kebiasaan tidur
Sebelum sakit        : pasien biasa tidur setelah tengah malam
Setelah dirawat     : pasien biasa tidur setelah tengah malam
  1. Kesulitan tidur
Sebelum sakit        : pasien biasa tidur pulas
Setelah dirawat     : pasien mudah terbangun

  1. Pola persepsi sensori dan kognitif
  1. Keluhan yang berkenaan dengan kemampuan sensasi
Sebelum sakit        : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi sensori
Setelah dirawat     : pasien tidak memiliki keluhan dalam kemampuan sensasi sensori
  1. Kemampuan kognitif
Sebelum sakit        : pasien tidak mengalami gangguan kognitif
Setelah dirawat     : pasien tidak mengalami gangguan kognitif

  1. Persepsi terhadap nyeri dengan menggunakan pendekatan P,Q,R,S,T
P  = nyeri bertambah saat beraktivitas
Q = nyeri seperti dicengkeram
R  = nyeri ulu hati
S  = Skala 3
T  = 2 hari
  1. Pola hubungan dengan orang lain
Sebelum sakit        : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain
Setelah dirawat     : pasien biasa bersosialisasi dengan orang lain

  1. Pola reproduksi dan seksual
Sebelum sakit        : pasien biasa berhubungan seksual dengan istrinya
Setelah dirawat     : pasien tidak bisa berhubungan seksual dengan istrinya

  1. Persepsi diri dan konsep diri
Sebelum sakit        :Pasien biasa menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga
Setelah dirawat     :pasien tidak bisa bekerja

10.  Pola Mekanisme koping
Sebelum sakit        : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
Setelah dirawat     : pasien biasa menyelesaikan masalah dengan istri dan keluarganya
11.  Pola nilai kepercayaan / keyakinan
Sebelum sakit        : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu
Setelah sakit          : pasien biasa menjalankan sholat 5 waktu

D. PENGKAJIAN FISIK
  1. Keadaan umum                       : Baik
  2. Tingkat kesadaran                   : Composmentis
  3. Tanda-tanda vital
    1. Suhu tubuh                  :  C
    2. Tekanan darah             : 150/82 mmHg
    3. Respirasi                      : 28x/menit, cepat, teratur
    4. Nadi                            : 82 x/menit, kuat, teratur
    5. Pengkajian nyeri                      : Nyeri dada kanan, skala 2
4.  Pengukuran antropometri         : LiLA= 29 cm
5. Kepala                                      : Mesocephal
a.       Rambut
warna hitam, lebat, nampak bersih
b.      Mata
konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
c.       Hidung
hidung nampak bersih
d.      Telinga
pendengaran baik, telinga nampak bersih
e.       Mulut
bibir tidak kering, tidak ada ginggivitis
  1. Leher dan tenggorok   : tonsil tidak membesar
  2. Dada dan thorak
Bentuk dada simetris
  1. Paru-paru         : tidak ada ronchi dan wheezing
  2. Jantung            : Ictus cordis tidak tampak
  3. Abdomen        : luka operasi post prostatektomi
6.      Genital            : nampak bersih, terpasang kateter
7.      Ekstremitas    
    1. Inspeksi kuku, kulit
Tidak sianosis, turgor baik, tidak ada edema
    1. Capillary refill
< 2 detik
    1. Kemampuan berfungsi
Tonus otot baik
    1. Bila terpasang infus
tidak ada nyeri tekan pada daerah tusukan infus
8.      Kulit
Kulit nampak bersih, warna sawo matang, turgor baik, tidak ada edema

E. DATA PENUNJANG
1)      Hasil pemeriksaan penunjang
a.       Pemeriksaan laboratorium
Hematologi
Hb                   : 10,0 g/dL
Hematokrit      : 32,9 %
Leukosit          : 10.000 sel/mm3
Trombosit        : 206.000 sel/mm3
Eritrosit           : 3,5 juta/mm3
Urinalisa
Bau                  : Khas
Warna              : Kuning
Kekeruhan       : Keruh
Ph                    : 7,0
Protein             : +
Reduksi           : -
Keton              : -
Bilirubin          : -
Urobilin           : -
Nitrit               : -
BJ urin             : 1,010
Sedimen
Eritrosit           : 6-8
Lekosit                        : 25-30 (ada yang bergelombang)
Bakteri                        : positif
Benang mucus : +
Kristal             : AMORS/+
b.      Pemeriksaan Radiologi
X Foto BNO - IVP :
UTI dikedua ginjal
Cystitis
Pembesaran kelenjar prostat


c.       Pemeriksaan UGS
Kesan :
Cystitis
Pembesaran kelenjr prostat (vol = 37 cm3)
Tak tampak kelainan di organ intraabdomen lainnya secara sonografi

d.      Diit yang diperoleh
e.       TKRP (Tinggi Kalori Rendah Protein)
f.       Therapy
Infus RL 20 tpm
Inj. Gentamicin 2x80 mg
Inj. Ketorolac 2x30 mg
Inj. Shorax 4x750 m

PENGELOMPOKAN DATA
NO
TGL
DATA (DS DAN DO)
TTD & NAMA
1.
Selasa, 30 juni 2015
DS :
Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6 ; RR 20X/menit ; Terpasang DC, Drain, dan Infus RL 20 tpm

















2.
Rabu,1 juni 2015
DS :
Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian luka post operasi, pasien mengatakan tidak nafsu makan, ingin cepat pulang ke rumah.

DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi

3.
Jum’at, 3 juni 2015
DS :
Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3)

DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain









ANALISA DATA
DATA (DS dan DO)
MASALAH (P)
ETIOLOGI (E)
DS :
Pasien mengatakan perut sebelah kiri sakit, dada sakit.

DO :
Post operasi TVP hari IV
TTV : TD 110/70 mmHg, N : 78X/menit, S : 35,6 ; RR 20X/menit ; Terpasang DC, Drain, dan Infus RL 20 tpm
Nyeri akut
Agen cidera fisik : post operasi TVP
DS :
Pasien mengatakan masih nyeri di perut bagian luka post operasi, pasien mengatakan tidak nafsu makan.
DO :
Terpasang Infus RL 20 tpm
Tampak gelisah
Terpasang DC
Hematuria
Terpasang Drain
Ada rembesan di luka yang terpasang Drain
Dilakukan perawatan luka post operasi
Resiko infeksi
Prosedur invasif : luka post operasi TVP
Pasien mengatakan nyeri sudah berkurang (< 3), lemas.

DO :
Pasien tampak lemas, tidak banyak bergerak
Terpasang DC
Terpasang Infus
Terpasang Drain

Hambatan mobilitas fisik
Ketidaknyamanan : pemasangan kateter, luka post operasi.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

  1. Nyeri akut b/d Agen cidera fisik, post operasi TVP
  2. Resiko infeksi b/d Prosedur invasif, luka post operasi TVP
  3. Hambatan mobilitas Fisik b/d Ketidaknyamanan, pemasangan kateter, luka post operasi.


PERENCANAAN
NODX
WAKTU (TGL/JAM)
TUJUAN & KRITERIA (NOC)
RENCANA
(NIC)
RASIONAL
1.



























30 juni 2015
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam, pasien tidak mengalami nyeri, dengan kriteria hasil :
-  Mampu mengontrol nyeri ( tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan),
- melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri, - mampu mengenali nyeri(skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri),
- menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
  1. Manajemen nyeri






  1. Pemberian analgetik : menggunakan agens-agens farmakologi
  1. Meringankan atau mengurangi nyeri sampai pada tingkat kenyamanan yang dapat diterima oleh pasien.
  2. Untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri.




NODX
WAKTU (TGL/JAM)
TUJUAN & KRITERIA (NOC)
RENCANA
(NIC)
RASIONAL
2

Rabu,1 juni 2015
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, pasien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil :
- Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
- menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi, jumlah leukosit dalam batas normal
- menunjukkan perilaku hidup sehat.
  1. Perawatan sirkulaasi: insufisensi arteri
  2. Perawatan luka insisi






  1. Perawatan luka
  1. Meningkatkan sirkulasi arteri

  1. Membersihkan, memantau dan memfasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan.

  1. Mencegah terjadinya komplikasi pada luka dan memfasilitasi proses penyembuhan luka.




NODX
WAKTU (TGL/JAM)
TUJUAN & KRITERIA (NOC)
RENCANA
(NIC)
RASIONAL
3

Jum’at, 3 juni 2015
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, hambatan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil :
- Klien meningkat dalam aktivitas fisik, mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas, memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkaan kekuatan dan kemampuan berpindah, memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi.
  1. Promosi mekaanika tubuh








  1. Terapi latihan fisik : ambulasi






  1. Terapi latihan fisik : mobilisasi sendi




  1. Bantuan perawatan diri
  1. Memfasilitasi penggunaan postur dan pergerakan dalam aktivitas sehari hari untuk mencegah keletihan dan ketegangan atau cedera muskuloskeletal
  2. Meningkatkan dan membantu dalam berjalan untuk mempertahankan atau mengembalikan fungsi tubuh autonom
  3. Menggunakan gerakan tubuh aktif dan pasif untuk mempertahankan atau mengembaliakn fleksibilitas sendi
  4. Membantu individu untuk mengubah posisi tubuhnya




TINDAKAN KEPERAWATAN
NO DX
 TGL/JAM
TINDAKAN
RESPON PS
TTD & NAMA

  1.  
30 juni 2015
Manajemen nyeri :
Teknik relaksasi napas dalam

Nyeri sedikit berkurang
Lebih nyaman


  1.  
Rabu,1 juni 2015
Perawatan luka post operasi di perut, mengganti botol drain, dan perawatan kateter
Pasien mengatakan nyaman setelah dibersihkan lukanya


  1.  
Jum’at, 3 juni 2015
Mobilisasi dini:
Mengubah posisi pasien miring kanan dan kiri dan melatih ROM aktif dan pasif secara perlahan.
Pasien mengatakan tubuhnya tidak kaku dan lebih nyaman.





CATATAN PERKEMBANGAN
NO DX
WAKTU (TGL/JAM)
EVALUASI
TTD & NAMA

  1.  
Selasa, 30 juni 2015
S : pasien mengatakan nyeri di luka post operasi
O : KU baik, pasien tampak menahan nyeri, terpasang infus di tangan kanan, terpasang drain, dan terpasang kateter
A : masalah teratasi sebagian, nyeri berkurang
P : manajemen relaksasi napas dalam


  1.  
Rabu,1 juni 2015
S : pasien mengatakan nyeri pada luka post operasi
O : TD 110/60 mmHg, S 36 ยบ c, N 80x/menit, RR 20x/menit, terpasang infus di tangan kanan, terpasang drain, dan terpasang kateter
A : nyeri berhubungan dengan insisi luka
P : perawatan luka, perawatan kateter, mengganti botol drain.


  1.  
Jum’at, 3 juni 2015
S : pasien mngetakan lemas, takut untuk bergerak, duduk dan berdiri.
O : pasien sering tidur, tampak lemah
A : hambatan mobilitas fisik
P : mobilisasi dini       












PATHWAYS

































DAFTAR PUSTAKA

Doengoes E. maryline.2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong2002.Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
Purnomo, B.B. (2011). Dasar-dasar urologi .Jakarta: Penerbit Sagung Seto
Sjamsuhidajat, R., & Jong, de.W. (2005). Buku ajar ilmu bedah (Edisi 2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996.  Perawatan  Medikal  Bedah : Suatu  Pendekatan  Proses  Keperawatan. Jakarta,  Penerbit  Buku  Kedokteran  EGC.